“Biarlah hidupmu mempunyai makna, walau tampaknya kecil dan tak berarti.”
Pandemi ini berpengaruh pada segala aspek, termasuk ekonomi. Perkembangan media digital yang sangat pesat membuat media cetak tersisih. Oplah majalah berkurang drastis. Hal ini berpengaruh pada para penulis. Bila biasanya saya bisa menulis di lima majalah, sekarang hanya dua majalah yang masih mau menerima tulisan saya.
Saya mulai berpikir apa yang bisa saya lakukan pada saat job saya sedang sepi. Saya ingin berguna, itulah tekad saya. Teman saya, Sr. Lucia ADM, pandai menggambar. Ia piawai merangkai gambar di kertas kado bekas menjadi gambar hias yang cantik. Mulanya saya menempelkan gambar-gambar itu di kartu ulang tahun. Namun, seiring waktu, saya berpikir, orang sekarang jarang yang suka menulis kartu. Mereka lebih suka menulis ucapan selamat ulang tahun di chat WhatsApp.
Saya melihat sisa potongan kertas. Bagaimana kalau gambar ini saya buat menjadi pembatas buku? Lalu, siapakah yang mau menerima karya saya yang sederhana ini? Saya membayangkan para pendidik. Mereka yang berjasa membentuk saya hingga saat ini. Seorang pendidik biasanya menghargai hasil karya anak didiknya, meskipun tidak bagus. Maka, saya memutuskan membuat pembatas buku ini untuk para mantan guru saya.
Saya lalu menyiapkan bahan-bahannya. Hanya berbekal kertas bufalo, plastik, gunting, dan lem. Mudah dan sederhana, bukan? Sambil menggunting dan menempel gambar-gambar ini, saya mengingat kembali kebaikan mereka pada saya. Saya, anak yang bermasalah itu, dikasihi dan dibimbing penuh kasih oleh guru-guru saya. Terima kasih, Tuhan, Engkau telah mempertemukan saya dengan guru-guru hebat yang menumbuhkan tunas-tunas pengharapan dalam diri saya.
Sambil mengingat kebaikan para guru, tak sadar butiran air mata saya menetes. Saya merasa tak mampu membalas kebaikan mereka. Mereka adalah orang-orang baik yang memberi saya kesempatan untuk bertumbuh dan berkembang hingga saya bisa berkarya 12 tahun lamanya. Saya hanya bisa menitipkan doa dan harapan agar guru-guru saya selalu sehat dan bahagia.
Membuat pembatas buku adalah pelayanan sederhana saya. Namun, saya “membungkus”-nya dengan cinta. Saya bahagia bisa sedikit membalas kebaikan guru-guru saya dengan karya saya yang sederhana ini. Walau para guru tidak pernah mengharapkan bahwa murid-murid akan membalas budi mereka.
Saya teringat seorang bruder Jesuit yang bernama Fransesco. Tugas bruder itu adalah menjaga pintu sebuah kolese. Tugas yang sederhana tetapi dilakukannya dengan penuh tanggung jawab. Setiap mahasiswa yang melewati pintunya merasa diteguhkan. Hari-hari menunggu pintu dilaluinya dengan berdoa rosario. Kehadirannya sungguh berarti. Tugas menjaga pintu dipandangnya sebagai rahmat untuk mengasihi orang lain. Ia tidak “hanya” menjaga pintu, tetapi ia membuka “pintu hatinya” untuk sesama
Melalui pelayanan membuat pembatas buku, saya ingin mendoakan doa yang diucapkan Bruder Fransesco, “Saya hanya melakukan perbuatan remeh. Tuhan yang membuatnya berarti.”
Ivonne Suryanto
54 Views
0 comments