YOGYAKARTA. Sultan Hamengkubuwana (HB) X memberikan anugerah budaya kepada Majalah BASIS sebagai majalah budaya tertua dari Yogyakarta dan kebanggaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) di Bangsal Kepatihan, Yogyakarta pada hari Kamis, 18 November 2021. Anugerah dari Dinas Kebudayan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ini diterima oleh Ketua Yayasan BASIS, Prof. Dr. A. Sudiarja persis pada ulang tahun Majalah BASIS yang ke-70.
“Ini sungguh kehormatan yang luar biasa bagi kami mendapat anugerah budaya dan langsung diterimakan oleh Gubernur DIY, Ngarsa Dalem Sultan HB X. Anugerah ini sebenarnya yang kami harapkan, namun tidak bisa kami pastikan, karena hanya orang lain yang bisa menilai dan menentukan,” terang Sudiarja yang berpakaian busana Jawa lengkap ini seusai menerima penghargaan dari Sultan HB X.
Majalah BASIS, “saudara kandung” Majalah UTUSAN ini, adalah majalah yang selama 70 tahun lamanya mengabdi dengan setia pada kebudayaan melalui karya media. Majalah ini didirikan pada tahun 1951 dan termasuk dikatakan sebagai majalah tiga zaman bahkan empat zaman, yakni Orde Demokrasi (1945-1951), Orde Lama, Orde Baru, hingga saat ini era reformasi. Di era Orde Baru selama 30 tahun lamanya Majalah BASIS terus hadir di tengah kesulitan dan ketidakkebebasan pers serta terus bertahan dengan ide-ide, pemikiran, dan gagasan kritis.
Sementara itu terpisah, pemimpin umum dan penanggung jawab Majalah BASIS, Sindhunata mengatakan majalah ini sungguh-sungguh sudah tua. Majalah BASIS setia dan konsisten mengawal kebudayaan. Maka, HB Jassin menyebutnya sebagai majalah benteng pikiran sehat. Untuk itu, Majalah BASIS betul-betul setia dan konsisten pada visi yang diletakkan pada awal berdiri, yakni menjadi majalah yang kritis berbudaya yang tanggap pada keadaan masyarakat.
Lebih lanjut Sindhunata mengatakan bahwa pada tahun 1955, Majalah BASIS bahkan memberikan jasa bagi bangsa ini, yakni pada waktu itu menerbitkan artikel-artikel demokrasi yang bahkan dijadikan pedoman demokrasi dan akhirnya dicetak banyak sekali sebagai booklet kecil dan dibagikan secara cuma-cuma kepada rakyat untuk belajar demokrasi.
Kehadiran Majalah BASIS sungguh menjadi bacaan yang mencerahkan. Pada saat menjelang jatuhnya orde lama, waktu itu saat ramai-ramainya polemik, Majalah BASIS juga tetap kritis dan berani memuat manifes kebudayaan yang sangat peka pada waktu itu. Bahkan, budayawan Umar Kayam bilang majalah ini mempunyai moral courage.
“Keberanian moral kami tegakkan sampai sekarang. Maka, di zaman reformasi ini kami terus mencoba memberikan pencerahan-pencerahan dengan artikel-artikel filsafat dan sebagainya,” ujar Sindhunata.
Lebih lanjut, Sindhunata mengatakan bahwa Dick Hartoko, pemimpin umum Majalah BASIS yang hampir lebih dari 30 tahun menggawai majalah ini, mengatakan jangan harap Majalah BASIS dapat dijumpai di stasiun-stasiun karena ini majalah serius. Dan, yang patut dicatat adalah konteksnya, bahwa selama periode 70 tahun berdirinya, khususnya majalah-majalah yang serius, sama sekali tidak ada yang bertahan dan berguguran kecuali majalah BASIS.
“Kejatuhan itu jelas di ambang mata, tetapi kami bertahan. Karena siapa sih yang sanggup memahami dan menerima artikel-artikel dan refleksi yang berat? Tetapi nyatanya demi sekelumit orang yang masih mau kritus, kami melayani dan sampai sekarang masih tetap bertahan,” imbuh Sindhunta.
Semboayan Majalah BASIS adalah adalah small is beautiful. Kecil itu indah. Majalah ini walau tidak menjangkau yang besar, pikir Sindhunata, khusus di Yogyakarta majalah ini sudah selayaknya kalau dihargai. Sebab, ini majalah yang lahir, bertahan, menyumbangkan pikirannya dari Yogyakarta dan tentu menjadi kebanggaan Yogyakarta.
Penulis buku Anak Bajang Menggiring Angin ini juga mengatakan, Majalah BASIS adalah kekuatan budaya yang mendapat penghargaan setelah 70 tahun berjuang. Kesetiaan dan kerja sama dengan berbagai pihak, termasuk dengan teman-teman wartawan dari dulu, membuatnya terus bisa bertahan. Ia juga mengatakan, anugerah ini adalah berkah bagi Majalah BASIS sekaligus berkah bagi pers Indonesia.
“Jadi, ini betul-betul suatu berkah bagi kami, tetapi ini juga berkah bagi pers bahwa 70 tahun itu bukan waktu yang sedikit. Toh, pers cetak ini masih mampu bertahan walaupun yang lain bertumbangan. Moga-moga ini menjadikan optimisme bahwa edisi cetak itu mau tidak mau masih tetap dibutuhkan karena sebuah keseriusan dan kemendalaman itu masih sangat dibutuhkan, lebih-lebih di tengah pendangkalan, hoax, media sosial yang hanya cenderung begitu-begitu saja, kami memberikan garis pikiran sehat,” papar Sindhunata sembari mengatakan bahwa semboyan Majalah BASIS adalah Menembus Fakta, yakni melihat sesuatu di balik fakta dan dengan seribu mata ia menyebutnya jurnalisme seribu mata.
Lebih lanjut Sindhunata mengatakan, sejak dipegangnya, corak Majalah BASIS yang dijadikan pegangan bagi banyak orang ini diusahakan bisa menjadi konsumsi pembaca biasa. Ia menyadari, profesinya sama seperti teman-teman wartawan untuk menyampaikan sesuatu kepada semua pembaca. Dikatakannya Majalah BASIS ini selalu menjadi bacaan dan pegangan untuk menggarap skripsi, untuk insight dosen, serta untuk bahan diskusi.
Dengan profesinya sebagai wartawan, Sindhunata ingin Majalah BASIS dari sisi bentuk maupun penyampaiannya betul-betul tersapakan kepada pembaca biasa karena ia sendiri seorang wartawan. Maka, ia menyebutnya jurnalisme, tetapi seribu mata memandang dari mana-mana dan menembus fakta.
“Anugerah budaya ini menurut saya adalah juga hasil dukungan teman-teman wartawan dan pemerintah provinsi DIY. Maka, saya berharap semoga Majalah BASIS masih terus bisa bertahan melanjutkan perjuangan ini. Ini suatu anugerah yang patut disyukuri sebagai majalah kebudayaan kebanggaan Daerah Istimewa Yogyakarta,” pungkas Sindhunata.
Banyak orang-orang hebat dan tokoh bangsa yang terlihat dalam pemikiran dan kiprah Majalah BASIS. Mereka adalahpemikir humaniora dan demokrasi seperti Prof. Dr. Zoethmoelder (tokoh filsafat Jawa Kuno), Prof. Driyarkara (filsuf yang agung dan pemikir tentang Pancasila), Dick Hartoko (budayawan Yogyakarta yang menggawangi BASIS di masa-masa orde baru), serta sejarawan P. Swantoro. Juga banyak penyair yang dilahirkan dari Majalah BASIS seperti WS Rendra, Sapardi Djoko Damono, M.H. Ainun Najib, dan Linus Suryadi. Pada masa reformasi, salah satu redakturnya adalah Prof. Dr. Franz Magnis Suseno (filsuf dan guru bangsa).
202 Views
0 comments