Siapa yang tidak mengetahui sifat-sifat Yohanes Pembaptis, sosok yang berani menegur dan mengingatkan Herodes yang saat itu menjadi raja? Yohanes mengkritik tindakan seorang penguasa seperti Herodes yang dinilai telah jauh dari ajaran Tuhan. Pada era modern ini, saya pun menemukan ada sosok seperti ini. Siapa lagi kalau bukan Soe Hok Gie? Dia adalah seorang mahasiswa angkatan tahun 1962 yang memiliki pemikiran kritis dan peka terhadap ketidakbenaran manusia Indonesia pada masanya.
Soe Hok Gie adalah seorang aktivis, mahasiswa, dan warga negara Indonesia berdarah Tionghoa yang ikut andil dalam penurunan kekuasaan Demokrasi Terpimpin Soekarno dan kritikus pemerintahan Orde Baru Soeharto. Gie, begitu ia dipanggil di kalangan teman-temannya, adalah seorang pemuda Katolik kelahiran Jakarta, 17 Desember 1942. Gie merupakan anak keempat dari lima bersaudara dalam keluarga Soe Lie Piet yang terkenal sebagai keluarga penulis (https://m.merdeka.com/soe-hok-gie/profil/).
Ayah Gie adalah seorang novelis sehingga Gie kerap kali memiliki kesempatan untuk mengunjungi perpustakaan umum dan berbagai taman baca di sekitar Jakarta. Maka, literasi yang dilakukan Gie sudah sangat mumpuni di usianya yang masih sangat belia. Bacaannya pun bukan sekadar majalah ataupun bacaan anak-anak, tetapi sudah mencicipi berbagai karya sastra yang serius, salah satunya karangan Pramoedya Ananta Toer.
Selama dia bersekolah, ketertarikannya terhadap dunia sosial sudah mulai terlihat. Seperti pada masa SMA, Gie memilih mendalami sastra untuk jurusannya dan dilanjutkan memilih sejarah pada saat ia mengenyam pendidikan di Universitas Indonesia. Dari dunia sosial, kesadarannya akan berpolitik beranjak bangkit. Ia menulis catatan perjalanan serta tulisan tajam penuh kritik dan berperan menjadi seorang aktivis kemahasiswaan.
Dari sinilah Gie terpandang sebagai penulis yang produktif. Karya tulisnya banyak dimuat di beberapa media massa ternama seperti: Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya (https://m.merdeka.com/soe-hok-gie/profil/). Dalam karya tulisnya, dia banyak mengkritik ketidakadilan para penguasa terhadap orang-orang kecil dan juga sikap para pemimpin yang menjalankan kekuasaannya secara tiran. Namun, belum genap berusia 27 tahun, sang penegak keadilan muda ini mengembuskan napas terakhirnya di Gunung Semeru saat pendakian bersama Mapala UI.
Seperti yang sudah dituliskan pada bagian biografi, orang muda Katolik yang juga seorang penulis ini telah menghasilkan karya yang sangat fenomenal. Walaupun dia belum sempat memublikasikan karya tulisnya, tetapi karyanya di dunia nyata sudah sangat membantu dan bermanfaat bagi orang banyak. Beberapa hal dan karya Soe Hok Gie yang saya teladani adalah sebagai berikut.
Pertama, tidak hanya memberi kritikan, tetapi ikut memberi gagasan yang membangun. Kritik yang dia sampaikan bukanlah kritik kelas teri yang tidak memiliki solusi untuk permasahalan itu, tetapi kritik ini dibarengi oleh saran kepada pemerintah untuk mengubah kebobrokan di kalangan para pejabat. Tindakan Gie yang satu ini sudah sangat merepresentasikan sebagai perilaku yang menunjukkan iman Katolik, yakni setiap perbuatan harus didasari dengan keadilan yang sesungguhnya, bukan didasari atas keinginan ataupun hasrat pribadi yang jatuhnya malah menuju keserakahan terhadap popularitas, kekuasaan, dan harta. Gie dalam hal ini juga sangat memperjuangkan hak-hak rakyat kecil untuk dapat merasakan “Kemerdekaan Indonesia” yang sebenarnya.
Kedua, setiap aksi yang dilakukan Soe Hok Gie tidak pernah ditunggangi kepentingan suatu kekuasaan. Hal ini memanglah benar, karena dia sendiri tidak menyukai organisasi di luar kampus yang hanyalah antek-antek partai politik yang berusaha merekrut kader-kader baru dan menjadikan mereka tikus berdasi yang penuh kerakusan atas segalanya. Dia berjuang agar semua rakyat Indonesia berada di tingkatan yang sama dalam segala aspek. Hal ini mencerminkan, betapa sebenarnya Gie beriman kepada Tuhan untuk hanya menjadi penyambung kehendak-Nya tanpa meminta ketenaran pada dirinya.
Ketiga, meskipun berbeda pandangan, Gie tidak pernah membenci lawannya. Hal inilah yang sebenarnya mengetuk kita, seperti yang telah diajarkan Yesus, bahwa kita tidak boleh membenci lawan kita, karena semua manusia hendaklah saling mengasihi seperti Allah yang mengasihi seluruh umat manusia. Salah satu contohnya saat Gie melakukan pergerakan Anti-PKI. Dia memang mendesak pemerintah untuk segera menghapus PKI, namun ia sangatlah bersedih ketika perealisasian tindakan oleh pemerintah telah melanggar hak-hak anggota PKI sebagai manusia. Yang Gie maksudkan adalah penghapusan paham komunis namun tanpa adanya penyiksaan.
Pemikiran Gie yang banyak menyelamatkan kaum LKMTD pada masa itu adalah tentang kesetaraan hak untuk semua warga Indonesia. Pemikiran sederhana itu muncul akibat dari kelalaian para penguasa yang saat itu memegang kekuasaan dan dibutakan oleh harta, yang sebenarnya adalah uang rakyat untuk membangun negeri ini bersama-sama. Seperti pada zaman Soekarno, Presiden Republik Indonesia yang pertama itu telah dibutakan oleh gengsi, yakni Indonesia ingin bersaing dengan AS yang memiliki pengaruh besar di dunia. Akibatnya, presiden pertama Indonesia itu menghamburkan uang rakyat untuk proyek-proyek besar yang bukan utama, seperti mendirikan NEFO untuk bersaing dengan negara-negara adidaya. Gie mengkritik keras hal itu dan memberikan penjelasan mengenai masalah apa yang seharusnya diutamakan penyelesaiannya.
Teladan iman Gie juga sepatutnya dicontoh pada masa pandemi COVID-19. Ketulusannya menjadi penyambung tangan Tuhan untuk berkarya dan menerapkan prinsip ajaran Yesus untuk membantu sesama dengan kemampuan masing-masing pribadi patut kita contoh dan lakukan saat ini untuk segera memperbaiki situasi dan kondisi. Contoh konkret yang dapat kita lakukan adalah turut serta dalam menaati peraturan yang berlaku, memakai masker, jaga jarak aman, dan melaksanakan protokol kesehatan yang telah disampaikan oleh pemerintah.
Kita juga sebaiknya mendukung pemerintah, yang notabene ingin memperbaiki situasi saat ini yang sedang kacau. Selain itu, kita juga dapat menegur sesama kita yang tidak mematuhi aturan. Untuk membantu saudara sebangsa dan setanah air yang sedang mengalami kesulitan dalam hal sosial-ekonomi, kita juga dapat melakukan penggalangan dana secara daring untuk mengumpulkan dana tanpa menimbulkan kerumunan orang. Kritik dan saran yang membangun juga perlu dilakukan, layaknya Gie. Oknum yang korup dalam tubuh pemerintah pada masa pandemi ini juga patut dikritik karena hanya memikirkan isi perutnya sendiri tanpa ada rasa peduli terhadap rakyatnya.
Pemilihan Soe Hok Gie sebagai tokoh pemikir Katolik dalam tulisan ini menjadi suatu cambuk refleksi, baik untuk saya pribadi dan siapa pun. Saya berharap pembaca, terutama yang masih berstatus mahasiswa, dapat meneladani Soe Hok Gie tentang bagaimana seharusnya berperilaku dan bertindak secara Katolik dan menyadari panggilan masing-masing insan untuk menjadi penyambung karya Allah di dunia ini dalam mewujudkan Kerajaan Allah.
Gie, saya anggap sangat cocok untuk mencerminkan tindakan mahasiswa yang menjunjung kebenaran dan melakukanya seturut ajaran Kristus. Dengan demikian, akan lebih mudah bagi mahasiswa dalam mencontoh tindakannya ketika sekarang sudah berusia sebaya dengannya.
Gabrielle Darda Wisnu Wardhana
Mahasiswa S-1 Program Studi Ilmu Hukum Universitas Airlangga Surabaya
Ilustrasi: Dokumentasi Mapala UI (https://www.tribunnewswiki.com/2019/05/14/tribunnewswiki-soe-hok-gie)
117 Views
0 comments