Design photo created by freepik - www.freepik.com
">
Pertanyaan-pertanyaan tentang peran Tuhan terhadap peristiwa pandemi COVID-19 boleh dinamakan sebagai penyerangan terhadap Tuhan. Penyerangan ini tidak hanya lahir dari orang-orang beriman yang merasa ditinggalkan melainkan juga masif dilakukan oleh orang-orang yang tidak mengakui eksistensi Tuhan.
Tujuan kelompok kedua ini ialah untuk “membelotkan” orang beriman yang dianggap tidak masuk akal, karena tidak mampu mempertanggungjawabkan tindakan Tuhan yang diimaninya. Paling mendasar ialah mereka menuntut alasan mengapa dia beriman kepada “yang tidak peduli” pada hidup dan penderitaan umat-Nya.
Pertanyaan yang muncul kemudian ialah apakah keduanya benar-benar tidak beriman lagi? Apakah orang beriman menyerah dengan imannya? Apakah mereka yang tidak beriman benar-benar tidak mengakui adanya Tuhan? Pertanyaan ini perlu dilihat dalam dua sudut pandang, yaitu sudut pandang orang beriman dan sudut pandang yang tidak beriaman.
Pertanyaan pertama sudah dijabarkan dalam tulisan sebelumnya. Sekarang, kita kupas pertanyaan kedua, sudut pandang orang yang tidak beriman.
Dari sudut pandang orang yang tidak beriman, pertanyaan yang ada mungkin menunjukkan bahwa mereka tidak percaya kepada Tuhan atau membuktikan ketiadaan-Nya. Munculnya pertanyaan-pertanyaan ini membuat mereka (mungkin) membusungkan dada karena menang melawan orang beriman yang Tuhan-nya tidak berbuat apa-apa untuk menolong umat-Nya.
Jawaban-jawaban ini semuanya bernada spekulatif dan lahir dari pandangan subjektif yang menjadi patokan universal bahwa mereka yang tidak beriman secara mutlak mengakui bahwa Tuhan itu tidak ada. Artinya, mereka yang tidak beriman sama sekali menghapus kata Tuhan dari kosakata hidupnya.
Spekulasi universal yang seakan menjadi kebenaran ini berangkat dari tanggapan spontan dan keliru terhadap mereka yang tidak beriman. Kebanyakan orang berpikir bahwa mereka yang tidak beriman adalah mereka yang tidak beragama dan dengan demikian mereka tidak mengakui bahwa Tuhan itu ada. Padahal, tidak beragama tidak berarti tidak beriman. Mereka yang tidak beragama tetap beriman meski Yang Diimaninya tidak terdapat dalam agama-agama besar yang ada dan dianggap sah serta seolah-olah menjadi patokan beriman.
Dalam tulisan ini penulis sebenarnya ingin keluar dari pandangan universal tentang mereka yang tidak beriman ini. Akan tetapi, demi membuktikan bahwa mereka yang tidak beriman pun tetap mengakui keber-ada-an Tuhan, maka penulis tetap memakai anggapan umum tentang mereka yang tidak beriman ini.
Kita kembali ke persoalan pokok, yakni apakah orang-orang tidak beriman, melalui pertanyaannya tentang diam-nya Tuhan dalam pandemi ini, sama sekali tidak mengakui adanya Tuhan atau tidak. Menjawab persoalan ini, penulis mencoba melakukan pendekatan dengan merefleksikan pertanyaan-pertanyaan yang disodorkan, yaitu mengapa Tuhan tidak mengakhiri pandemi ini? Mengapa Tuhan membiarkan umat-Nya yang paling saleh sekalipun mati begitu saja? Jika Tuhan mahakuasa, mengapa kekuasaan-Nya tidak mampu mengatasi krisis besar ciptaan-Nya?
Dengan merefleksikan rentetan pertanyaan yang ada, penulis akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa mereka yang tidak beriman sebenarnya tetap mengakui bahwa Tuhan itu ada. Pertanyaan “mengapa Tuhan tidak mengakhiri pandemi ini” sebenarnya mengandung pesan bahwa Tuhan itu ada. Artinya, menurut mereka yang tidak beriman, Tuhan itu ada tetapi tidak menunjukkan keberadaan-Nya dengan membantu umat manusia keluar dari situasi serbarumit ini.
Hemat saya, pandangan mereka yang menyatakan bahwa Tuhan tidak menunjukkan keberadaan-Nya lahir dari ketidakmampuan mereka untuk menemukan Tuhan di balik setiap peristiwa baik yang dialaminya selama pandemi ini. Mereka tidak mampu merenungkan bahwa ada Tuhan yang menggerakkan setiap orang yang membantu mereka terlindung dari bahaya COVID-19 dan tidak sampai pada kesadaran bahwa ada kekuatan yang menggerakkan mereka untuk menaati protokol kesehatan yang ada, yang bagi orang beriman kekuatan itu adalah Tuhan sendiri. Semua ketidakmampuan untuk menemukan Tuhan yang bertindak ini terjadi karena mereka tidak mengimani Tuhan itu, meski mereka tahu dan mengakui bahwa Tuhan itu sebenarnya ada.
Penjelasan mengenai dasar penyerangan terhadap Tuhan di atas membawa kita kepada suatu kesimpulan bahwa dasar pertanyaan yang diajukan, baik dari sudut pandang orang beriman maupun yang tidak beriman, adalah sama, yakni iman itu sendiri. Kelompok pertama bertanya karena ia beriman sehingga ia menuntut bahwa Tuhan menunjukkan kekuasaan-Nya.
Pertanyaannya mengalir dari iman. Dengan bertanya, ia tetap beriman dan dari sendirinya pertanyaan yang ada akan mengantarnya ke suatu refleksi mendalam tentang tindakan Tuhan yang hadir dalam pelbagai wujud. Penemuan kehadiran dan tindakan Tuhan dalam wujud yang dapat dipahaminya akan mengantar mereka yang beriman untuk tetap teguh, setia, dan makin kukuh dalam iman.
Acuan kelompok yang kedua, yakni mereka yang tidak beriman, juga ialah iman itu sendiri meski mereka belum sepenuhnya ke sana. Bagi saya, pertanyaan tetang peran Tuhan yang lahir dari penyataan bahwa Tuhan itu ada adalah pintu masuk dalam beriman kepada Tuhan, tanpa perlu dipertanyakan lebih jauh iman kepada Tuhan dalam agama yang mana. Intinya, pengakuan akan adanya Tuhan akan membuka jalan kepada iman itu sendiri. Dengan demikian, di balik pertanyaan dan penyerangan terhadap Tuhan di atas, ada iman yang sedang tumbuh dan akan bertumbuh.
Keseolah-olahan yang keliru
Pada bagian awal telah disebutkan bahwa pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang Tuhan selama masa pandemi ini melahirkan beberapa keseolah-olahan, yakni seolah-olah Tuhan masa bodoh dan tidak ambil pusing dengan persoalan yang tengah dihadapi ciptaan-Nya, seolah-olah Tuhan tak berdaya di hadapan kematian akibat pandemi COVID-19, serta seolah-olah Tuhan tidak bertindak dan mati!
Benarkah semua keseolah-olahan ini terjadi? Hal inilah yang perlu didalami, karena bila semuanya benar-benar terjadi, maka (kemungkinan) orang akan menjauh dari iman dan Tuhannya. Alasan pelarian ini jelas, yakni bahwa Tuhan mengabaikan manusia dalam penderitaannya. Hal inilah yang hendak dihindari.
Keseolah-olahan yang ada di atas sebenarnya hanya merupakan ungkapan spontan yang belum tentu pasti keabsahannya. Ungkapan tersebut sebetulnya tidak dibarengi dengan sebuah refleksi yang mendalam atasnya. Dengan mengacu pada adanya iman di balik pertanyaan atau serangan terhadap Tuhan, saya akan mencoba mematahkan keseolah-olahan yang ada dan menunjukkan pembuktian yang sekiranya berguna untuk menyatakan kepada semua orang bahwa dalam masa pandemi ini Tuhan tidak berdiam diri. Ia hadir dan selalu berada antara umat manusia.
Virus corona menjangkit semua orang tanpa memandang apakah yang bersangkutan beriman atau tidak, beragama atau bukan, dan mengakui eksistensi Tuhan atau tidak. Penderitaan akibat virus ini menyebabkan kematian begitu banyak orang dari semua golongan dan gelombang pengaruhnya menyentuh berbagai elemen hidup manusia teramasuk agama, lantaran pandemi virus ini membuat ibadah dan upacara keagamaan dilakukan dari rumah.
Di tengah hiruk pikuk ini semua orang menantikan penemuan vaksin yang mampu menangkal virus. Harapan yang tak kunjung terwujud ditemukannya vaksin membuat manusia “mempersalahkan” sosok yang baginya melampaui segala sesuatu, termasuk penderitaan, yakni Tuhan.
Manusia mempersalahkan Tuhan karena mereka tidak mampu menemukan sosok Tuhan di balik semua pristiwa yang terjadi selama pandemi ini. Mereka menjadikan-Nya sebagai objek kemarahan, karena menurut mereka Ia sebenarnya mampu hadir secara fisik-manusiawi untuk melindungi manusia dari wabah ini. Alhasil, ketidakmampuan menjangkau kehadiran Tuhan selama pandemi membuat mereka berpendapat bahwa Tuhan tidak bertindak dan seolah-olah Dia itu egoistis, telah mati, serta kemahakuasaan-Nya tidak mampu menghadapi pandemi yang ada.
Menurut saya, dalam hal inilah manusia itu salah kaprah. Sebenarnya bukan Tuhan yang berpangku tangan terhadap penderitaan manusia; melainkan manusialah yang tidak mampu masuk dalam ruang refleksi untuk merenungkan setiap pengalaman hidupnya selama pandemi guna menemukan sosok serta tindakan Tuhan di baliknya. Mengacu pada hal ini maka dapat diterangkan bahwa semua keseolah-olahan yang ada tidak pernah terjadi dan tidak benar-benar nyata. Tuhan sesungguhnya senantiasa hadir, tetapi kehadiran-Nya tak mampu diselami manusia yang sibuk dengan pikiran dan pandangannya sendiri.
Untuk mempermudah pengenalan akan hadirnya Tuhan dalam peristiwa pandemi, ini berikut akan disebutkan beberapa contoh. Pertama, adanya aturan dan ketetapan pemerintah yang dibuat untuk mencegah penyebaran virus ini. Jika manusia mampu masuk dalam ruang reflektif, mereka akan menemukan bahwa ada sesuatu yang mendorong pemerintah untuk menetapkan aturan yang ada. Sesuatu itu bukan semata-mata sebuah dorongan kemanusiaan atau politik, tetapi karena hati nurani: di situlah Tuhan bekerja.
Kedua, adanya relawan dan tenaga medis yang senantiasa berjuang untuk membantu mereka yang terdampak virus ini. Sebuah refleksi mendalam atas hal ini, entah yang dilakukan oleh orang beriman maupun tidak, akan sampai pada kesimpulan bahwa ada sesuatu yang mendorong mereka ini untuk berjuang meski menjadikan nyawa sebagai taruhan. Orang beriman pasti sampai pada pengakuan bahwa Tuhanlah yang menggerakkan itu. Orang tidak beriman juga sama, mereka akan sampai pada pengakuan akan adanya daya dorong di balik semua itu. Pendorong itu jelas berkuasa dan melebihi kemampuan manusiawi manusia. Secara tidak sadar mereka akan masuk dalam pemikiran dan pengakuan tentang Tuhan yang diimani orang beriman, sebab Tuhan itu berkuasa, Ia melampui khazanah berpikir dan kekuatan manusia.
Ketiga, adanya masyarakat atau pribadi yang senantiasa mengikuti protokol kesehatan yang ditetapkan pemerintah. Kesadaran untuk mengikuti anjuran pemerintah bukan melulu terdorong oleh perasaan takut mati, tetapi terutama karena adanya harapan bahwa dengan itu kita akan selamat dari wabah ini. Dalam hal ini jugalah Tuhan hadir. Ia mengaruniakan kepada setiap orang harapan untuk tetap hidup sehingga tidak ada yang jatuh kepada keputusasaan. Menurut saya, tiga contoh yang ada dapat menunjukkan bahwa Tuhan senantiasa hadir dan bertindak demi keselamatan manusia, termasuk dalam situasi pandemi ini. Jadi, keseolah-olahan di atas disangkal.
Dari uraian singkat ini, dapat disimpulkan bahwa pertanyaan tentang tindakan Tuhan selama pandemi ini sebenarnya masih dalam kerangka iman. Pertanyaan yang ada melukiskan bahwa orang tetap memiliki iman dan mengakui Tuhan. Hanya yang perlu ditingkatkan ialah kemampuan reflektif sekaligus rasional sehingga kita mampu menemukan Tuhan di setiap peristiwa hidup selama pandemi ini.
Selain itu, keseolah-olahan bahwa Tuhan itu mati dan tidak berbuat apa-apa, sangatlah tidak tepat. Hal ini terjadi karena keseolah-olahan itu lahir dari ketidakmampuan manusia untuk menjangkau dan menyingkap, melalui cara mana Tuhan hadir dan menolong ciptaan-Nya selama pandemi. Mengetahui hal ini, saya yakin bahwa masalah tentang orang yang ragu akan keyakinannya terhadap Tuhan, baik selama pandemi ini maupun setelahnya, dapat teratasi dan mampu dibendung.
Fr. Hubertus Herianto, SMM
Ilustrasi: Design photo created by freepik - www.freepik.com
06 Mei 2022
24 Maret 2022
08 April 2021
477 Views
0 comments