Pandemi COVID-19 menjadi isu yang ramai diperbincangkan. Pembicaraan mengenai hal ini tidak pernah selesai, entah dalam diskusi skala kecil di kedai-kedai kopi yang sepi pengunjung ataupun diskusi skala besar yang melibatkan suatu negara secara keseluruhan.
Topik yang sama juga menghiasi setiap sudut surat kabar, baik lokal maupun nasional. Alasannya jelas, yakni karena wabah ini merenggut sekian banyak jiwa dan menimbulkan krisis di pelbagai bidang kehidupan manusia seperti ekonomi, politik, dan sosial masyarakat.
Salah satu persoalan baru yang muncul selama dan (sekiranya demikian) juga setelah wabah ini ialah tentang keyakinan orang beriman. Hal ini muncul karena COVID-19 menjangkau setiap orang; tidak peduli apakah ia sebagai yang beriman atau sebaliknya, mereka yang ber-Tuhan maupun yang sama sekali tidak mengakui keberadaan Tuhan.
Virus corona menyentuh dan menimbulkan persoalan baru seputar kehidupan iman karena peristiwa yang disebabkannya seperti tangisan, penderitaan, dan kematian jutaan orang melahirkan pertanyaan mendasar tentang iman dan yang diimani. Pertanyaan-pertanyaan ini misalnya mengapa Tuhan tidak mengakhiri pandemi ini? Mengapa Tuhan membiarkan umat-Nya, yang paling saleh sekalipun, mati begitu saja? Jika Tuhan Mahakuasa, mengapa kekuasaan-Nya tidak mampu mengatasi krisis besar ciptaan-Nya? Pertanyaan yang paling esensial akhirnya ialah apakah Tuhan itu benar-benar ada, ataukah Dia memang tidak ada, ciptaan manusia karena keterbatasannya?
Jika semua pertanyaan ini tidak ditanggapi dengan bijak, orang beriman mungkin dengan sendirinya jatuh dalam krisis dan yang paling ditakuti ialah meninggalkan imannya. Ini menjadi mungkin karena dalam fakta yang ada Tuhan seolah-olah masa bodoh alias tidak “ambil pusing” dengan persoalan yang tengah dihadapi ciptaan-Nya. Lonjakan angka kematian korban COVID-19 juga secara kasatmata menampilkan “ketakberdayaan” Tuhan, “ketidakmahakuasaan-Nya”. Mungkinkah keseolah-olahan ini terjadi? Mungkinkah Tuhan tidak bertindak?
Mencari tahu tentang kebenaran keseolah-olahan di atas bukan perkara mudah, karena pendalaman ini tidak melulu soal gagasan yang dikemukakan dengan menganalisis pengalaman yang ada. Mendalami kemungkinan ini perlu suatu refleksi yang mendalam. Tanpa itu, keseolah-olahan di atas dianggap benar dan sahih sehingga dari sana bermula pandangan baru yang membuat orang kehilangan iman.
Kehilangan iman membuka suasana baru yang sulit dipastikan akibatnya. Berikut kita akan merefleksikan keseolah-olahan di atas, apakah itu mungkin atau tidak. Namun, sebelum melangkah ke pembuktian keseolah-olahan tersebut, terlebih dahulu kita akan merefleksikan: ada apa di balik pertanyaan tentang Tuhan di atas?
Iman di balik penyerangan terhadap Tuhan
Pertanyaan-pertanyaan tentang peran Tuhan terhadap peristiwa pandemi COVID-19 boleh dinamakan sebagai penyerangan terhadap Tuhan. Penyerangan ini tidak hanya lahir dari orang-orang beriman yang merasa ditinggalkan melainkan juga masif dilakukan oleh orang-orang yang tidak mengakui eksistensi Tuhan.
Tujuan kelompok kedua ini ialah untuk “membelotkan” orang beriman yang dianggap tidak masuk akal, karena tidak mampu mempertanggungjawabkan tindakan Tuhan yang diimaninya. Paling mendasar ialah mereka menuntut alasan mengapa dia beriman kepada “yang tidak peduli” pada hidup dan penderitaan umat-Nya.
Pertanyaan yang muncul kemudian ialah apakah keduanya benar-benar tidak beriman lagi? Apakah orang beriman menyerah dengan imannya? Apakah mereka yang tidak beriman benar-benar tidak mengakui adanya Tuhan? Pertanyaan ini perlu dilihat dalam dua sudut pandang, yaitu sudut pandang orang beriman dan sudut pandang yang tidak beriaman.
Pertama, sudut pandang orang beriman. Bila pertanyaan-pertanyaan yang menggunggat keberadaan Tuhan di atas lahir dari orang-orang beriman, seyogianya pertanyaan seperti ini masih dalam kerangka iman itu sendiri. Bertanya mengenai Tuhan dari sendirinya mengandung unsur kepercayaan bahwa sebenarnya Tuhan mampu mengatasi segala persoalan yang dihadapi umat-Nya.
Dalam situsi pandemi ini, pertanyaan orang beriman mengenai “diamnya” Tuhan, yang tidak turun tangan atas situasi penderitaan yang tengah dialami umat-Nya, tidaklah mendasar. Hemat saya, orang beriman yang bertanya atau bahkan “sangsi” akan adanya Tuhan sebenarnya belum menggali lebih dalam mengenai bagaimana posisi Tuhan dalam hidupnya, terkhusus selama pandemi ini.
Ia tidak tahu bahwa Tuhan tidak mungkin hadir secara langsung di hadapannya lalu memberinya sebotol vaksin. Tuhan juga tidak hadir berhadapan muka dengannya, lalu membentenginya secara fisik dari serangan wabah ini. Apakah dalam hal ini Tuhan sungguh tidak bertindak? Sama sekali tidak. Kalau demikian yang terjadi, betapa egoistisnya Tuhan itu, karena Ia mengabaikan apa yang telah dijadikan oleh tangan-Nya sendiri.
Dalam situasi pandemi ini, Tuhan sebenarnya tetap bertindak. Ia menjadikan mereka yang beriman punya harapan sehingga dalam situasi keterbatasan, mereka tidak putus asa. Andaikata Tuhan tidak ada, apakah manusia atau orang beriman itu sepenuhnya masih bisa berharap dan tabah?
Apakah mereka menggantungkan harapannya kepada para ilmuwan semata, yang pada saat yang sama belum berhasil menemukan vaksin yang didambakan? Bukankah bila hanya berharap pada para ilmuwan, jika vaksin itu belum juga ditemukan, manusia akan menggencarkan protes karena ilmuwan tak sanggup memenuhi harapan mereka. Akhirnya, terciptalah ke-khaos-an di tengah kehidupan manusia.
Selain itu, tindakan Tuhan bagi umat-Nya hadir melalui pelbagai kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah dan dinas kesehatan terkait protokol kesehatan selama pandemi COVID-19. Melihat kebijakan ini, orang beriman mestinya sampai pada penemuan bahwa Tuhan ada di balik setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pihak berwajib. Kebijakan yang dimaksud ialah kebijakan yang membantu setiap manusia agar terbebas dari wabah ini.
Jika seseorang sampai pada penemuan akan Tuhan dibalik setiap kebaikan yang hadir selama ini, baik melalui kebijakan pemerintah maupun melalui pihak-pihak yang ambil bagian dalam mengentaskan pandemi ini, dari sendirinya mereka mengerti dan tahu bahwa Tuhan sebenarnya tidak pergi. Tuhan hadir dalam wujud lain yang lebih mampu dipahami manusia, yakni kebaikan dan uluran tangan orang lain. Kenyataan ini menunjukkan bahwa Tuhan tidak pernah menjadi tokoh skeptis atas persoalan manusia.
Dari penjelasan reflektif ini disimpulkan bahwa pertanyaan orang beriman mengenai diam-nya Tuhan di tengah pandemi bukanlah pertanda bahwa mereka tidak beriman lagi. Pertanyaan-pertanyaan itu malahan mengindikasikan bahwa iman itu masih ada. Pertanyaan ini sebenarnya mampu mengantar orang pada iman yang lebih kukuh dengan pengandaian bahwa mereka mampu melihat Tuhan di balik setiap kebaikan yang tetap mengalir selama pandemi ini.
Fr. Hubertus Herianto, SMM
Ilustrasi: Medical photo created by freepik - www.freepik.com
528 Views
0 comments