Redaksi Majalah UTUSAN mengucapkan turut berduka cita atas wafatnya Rm. Vincentius Markus Marlon MSC yang dipanggil Tuhan pada Rabu, 5 Agustus 2020 di Dumaring, Talisayan, Kalimantan Timur.
Untuk mengenang almarhum, yang merupakan salah satu penulis di Majalah UTUSAN pada dekade lalu, Redaksi ingin menyajikan kembali salah satu naskah yang almarhum kirimkan pada Selasa, 8 Oktober 2013 dengan penyuntingan seperlunya.
Pengalaman Kehilangan
Saya memiliki seorang teman yang trauma menggunakan komputer. Saya jumpai dia di ruang kerjanya yang menggunakan mesin ketik antik merek Siemag. Ia mulai sharing, “Pada waktu itu tahun ‘90-an, aku mengetik di komputerku yang baru. Aku menulis bahan seminar yang akan dipaparkan pada hari itu juga. Setelah kira-kira 6 halaman, tiba-tiba listrik mati dan tulisan pun hilang karena belum di-save. Keringat dingin mengalir di sekujur tubuhku. Pengalaman kehilangan ini merupakan pengalaman pahit sehingga aku tidak percaya lagi dengan barang yang namanya komputer.” Dan, dia terus memainkan jari-jarinya di atas mesin ketik bututnya, “Tik-tak-tik-tak.”
Perjumpaan dengan teman yang trauma dengan komputer tersebut saya ceritakan dalam mobil Innova warna krem. Kami bersama seorang teman hendak mengadakan perjalanan ke Poso, sebuah kota yang masih menyisakan kenangan pahit, yaitu puing-puing rumah yang hancur dan dibakar pada tahun 1998.
Sesampai di Kota Parigi, Kabupaten Parigi Moutong, teman seperjalanan saya ketinggalan ponsel. Dia begitu panik dan dengan gemetaran dia berkata, “Sungguh, ponsel itu adalah hidupku. Isi dari ponsel tersebut adalah data yang amat berharga: nomor-nomor penting, nomor rekening, HUT para sahabat, dan masih banyak lagi.”
Karena dia ngomel-ngomel terus, akhirnya driver harus balik ke Palu untuk mengambil ponsel tersebut. Ponsel belum hilang saja sudah ngomel-ngomel tidak keruan, apalagi kalau ponsel itu hilang.
Memang, kehilangan barang bisa membuat sedih bahkan stres yang berkepanjangan. Ada orang yang kehilangan barang yang amat disukai, maka dia mulai berdoa kepada St. Antonius Padua (1195-1231), seorang kudus yang “membantu” mengembalikan barang hilang, penolong dalam bahaya-bahaya kemandulan, kelahiran, penyakit sampar. Kita juga pernah mendengar ada seorang bapak yang bunuh diri, gara-gara kehilangan uang miliaran rupiah yang diinvestasikan di bank. Ia sedih sekali karena kehilangan harta kekayaannya.
Saya juga pernah berjumpa dengan orang yang begitu ikhlas. Di desa kecil Playen, Gunungkidul, Yogyakarta, ada seorang bapak yang dikenal sebagai Bapak “Ayub” Dwijowiyono. Bapak “Ayub” ini pernah berkata pada suatu waktu, “Orang yang kehilangan harta bendanya, tidak kehilangan apa-apa. Orang yang kehilangan nyawanya, telah kehilangan separuh, dan orang yang kehilangan kepercayaan, akan kehilangan seluruh hidupnya.”
Kata-kata bijak itu mengajak kita untuk menjaga nama baik dan kepercayaan. Di tempat lain, saya juga berjumpa dengan seseorang yang berkata, “Kehilangan benda itu tidak perlu sedih-sedih amat, karena suatu saat pasti akan didapat kembali, bahkan lebih baik dari pada itu.”
Setelah mengalami kehilangan benda-benda duniawi, bagaimana dengan kehilangan suasana seperti yang dialami oleh bapak dalam perjumpaan berikut?
Perjumpaan saya dengan seorang bapak di Kota Makasar, tepatnya di Jl. Lumadukelleng, mengingatkan kita bahwa anak-anak sungguh merupakan mutiara yang tak ternilai harganya. Bapak itu bercerita demikian, “Saya menyesal sekali telah kehilangan saat anak-anakku berbicara atau berjalan untuk pertama kali. Setiap kali anakku lahir, saya bekerja di luar pulau. Suasana hati yang indah dan tidak ternilai harganya itu kini tidak saya dapatkan kembali. Saya telah kehilangan saat anak-anakku menangis dan ngompol di pangkuanku. Saya telah kehilangan kenangan indah bagaimana anak-anakku ngelendot di badanku.”
Bapak ini tercenung sejenak, kemudian berkata lagi, “Kini, anak-anak sudah remaja dan dewasa. Mereka sudah sibuk dengan urusan mereka sendiri-sendiri.”
Pengalaman kehilangan bapak di atas dapat disandingkan dengan pengalaman kehilangan seorang ibu yang kujumpai di Gramedia Manado (Jl. Sam Ratulangi). Malam itu ia resah dan gelisah mencari-cari buku Iliad of Homer. Dia bolak-balik dari rak ke rak yang sama. Kemudian tiba-tiba dia mengeluh, “Kemarin buku itu ada di rak ini dan saya mau beli tetapi saya belum perlu sekali. Tetapi setelah saya ingin membacanya, ternyata buku itu sudah raib. Bagian servis mengatakan bahwa stok buku itu sudah habis!”
Kita bisa merenungkan bahwa ketika barang-barang itu ada di depan kita, maka kita cenderung menyia-nyiakan, tetapi ketika barang itu tidak ada, kita sangat kehilangan.
560 Views
0 comments