Sore itu sepulang kerja aku melanjutkan perjalanan ke luar kota tempatku memeriksakan kesehatan. Aku harus menempuh kurang lebih tiga jam perjalanan. Terasa sangat melelahkan setelah setengah hari bekerja. Badanku sudah letih. Aku ingin istirahat di dalam bus.
Di dalam bus, penumpang hanya sedikit. Kami bebas memilih tempat duduk yang nyaman. Aku duduk di kursi nomor tiga dari depan. Di depanku duduk seorang gadis yang sibuk dengan ponselnya.
Bus melaju dengan tenang. Mataku sudah mulai tawar-menawar untuk tidur. Namun, saat gadis itu menoleh ke belakang dan aku spontan melemparkan senyuman ke arahnya, dia langsung bertanya, “Suster sendiri?”
“Ya,” sahutku.
“Bolehkah aku duduk di samping suster?” tanyanya lagi.
Dalam hati aku langsung berkata tidurku akan gagal. Namun tidak apa-apa, toh dia hanya ingin duduk di sampingku. Sebelum kujawab, dia langsung bergegas mengambil posisi di sampingku.
Dia memperkenalkan dirinya sebagai seorang guru yang juga sedang studi S-2 di salah satu universitas negeri di Medan. Perjalanan sore ini dia lakukan karena esok pagi akan masuk kuliah. “Kebetulan ada tadi urusanku ke tempat ini, Suster,” katanya. “Suster sendiri mau ke mana sore-sore gini?”
“Aku mau check up besok pagi, maka sore ini aku harus jalan supaya esok tidak terlambat,” terangku singkat.
Mataku mulai berjuang untuk berdamai dengan keadaan setempat. Berjuang untuk melihatnya, mendengarkan pertanyaan, dan berusaha menjawab sedemikian rupa.
“Suster, bolehkah aku cerita?”
Aku kira perkenalan singkat kami itu sudah cukup dan kami sibuk dengan dunia kami. Namun, ternyata pikiranku salah. Dia ingin sharing.
“Mau cerita tentang apa?” tanyaku sambil tersenyum walaupun sebenarnya aku ingin istirahat.
“Suster nggak merasa terganggukah?”
Hulu hatiku rasanya tertohok. Jika boleh jujur, sebenarnya aku ingin tidur. Aku sudah lelah dari tempat kerjaku dan melanjutkan perjalanan jauh lagi. Apalagi kondisiku kurang sehat.
Namun, aku berkata kepada diriku sendiri, bisa jadi dia melihat sesuatu dalam diriku yang membuatnya ingin bercerita.
“Nggak, aku nggak terganggu kok. Ceritalah,” kataku sambil berjuang untuk berdamai dengan rasa kantukku.
“Suster, aku punya pacar, teman kuliahku dulu. Kami sudah lama pacaran, tapi sampai saat ini dia tidak punya prinsip hidup. Dia tidak kerja atau barangkali tidak mau bekerja. Kalau aku ingatkan supaya melamar pekerjaan, selalu banyak alasannya. Dia hidup dari jerih payah orang tuanya, terkadang dia juga minta uang dariku. Entahlah, Suster, ‘dah berapa banyak uang yang kuberikan padanya. Bahkan, sepeda motor yang aku pakai untuk kerja, dia pinjam dengan alasan mau cari kerja. Tapi yang terjadi, dia gunakan untuk kesenangannya pribadi.”
Sambil sesekali menguap, aku dengarkan kisahnya.
“Pernah suatu hari setelah pulang kerja, ada rencanaku mau menjemput sepeda motorku dari kos-kosannya. Kulihatlah dia bersama dengan teman-temannya berjudi sambil mabuk-mabukan. Adrenalinku langsung naik. Kuminta kunci sepeda motorku, tapi dia tidak mau. Kemudian aku mendesak dia, dan dengan emosi dia mencampakkan kunci sepeda motor itu ke arahku dan tanpa kuduga tangannya mendarat di pipiku. Rasa malu menghampiriku, aku merasa tidak punya harga diri lagi. Apalagi di hadapan teman-temannya. Seminggu setelah peristiwa itu dia datang minta maaf. Apakah yang harus kulakukan, Suster?”
Mendengar kisahnya yang singkat itu rasa kantukku seketika hilang. Kuamati perempuan di sampingku. Parasnya cantik, punya pekerjaan mapan, dan sekarang melanjutkan studi S-2. Aku yakin masa depannya cerah. Perempuan sebaik dia kok disia-siakan, batinku.
“Apakah yang kamu harapkan lagi darinya?” tanyaku setelah jeda menghampiri kami.
“Aku sangat mencintai dia, Suster,” akunya pelan.
“Apakah kita bisa hidup hanya mengandalkan cinta?” tanyaku lagi.
Dia menarik napas. Pertanyaanku tidak dijawab, malah membalas dengan pertanyaan lagi, “Mengapa aku terlalu mencintai dia, ya, Suster? Setelah pertengkaran itu, sebenarnya aku sudah berniat untuk memutuskannya. Tapi apa yang terjadi. Dia langsung datang ke rumah, minta maaf, serta berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Hatiku luluh dan kemudian menerima dia kembali.”
“Walaupun kamu diperlakukan begitu?” tanggapku dengan volume sedikit agak meninggi.
Dia terdiam tak menjawab.
Memang antara cinta dan benci itu sangat tipis bedanya. Semakin kita mencintai seseorang, semakin besar peluang untuk tersakiti olehnya. Aku tidak punya saran untuknya, tetapi aku hanya memberi masukan sedikit dari kisah yang dia bagikan.
“Seorang perempuan yang baik hendaknya menemukan pasangan hidup yang baik. Demikian sebaliknya. Tetapi itu tidak kutemukan dalam kisahmu. Kamu perempuan yang baik dan berpendidikan serta punya pandangan yang bagus dalam menjalani hidup ini. Tetapi amat disayangkan, lelaki yang kamu cintai tidak seperti yang kamu harapkan. Konsep kalian dalam memandang hidup berbeda. Kamu berpikiran ke depan, tetapi kekasihmu tidak memikirkan apa-apa. Bahkan, dia tidak memikirkan dirinya sendiri. Tetapi, bagaimanapun engkau yang memutuskan. Pilihan ada padamu. Saat kamu memutuskan untuk mencintai seseorang, berarti engkau siap akan sesuatu yang akan terjadi dari pilihanmu. Saat ini kalian masih pacaran dan belum sampai ke tahap pernikahan. Namun, dari ceritamu aku tidak menemukan bahwa dia mencintaimu dengan sungguh karena dia tidak memperjuangkan dirimu. Engkau sudah menunjukkan rasa cintamu yang terbesar dengan memberikan apa yang kamu miliki. Namun dari pihaknya tidak menghargai pemberianmu itu, malah aku merasa dia sedang memanfaatkanmu.”
Dia mendengarkan kata-kataku dengan penuh perhatian.
“Sebelum engkau mengikat perjanjian yang serius dengannya, pikirkanlah matang-matang,” lanjutku. “Pernikahan itu sekali seumur hidup. Tidak ada uji coba dalam pernikahan. Sekali engkau memutuskan untuk menikah dengannya, berarti tidak dapat lagi dipisahkan, kecuali dengan kematian. Kalian pacaran sudah sangat lama dan sejauh yang kudengarkan, kamu tidak menceritakan bahwa kamu merasakan kebahagiaan. Menurutku, tujuan dari pernikahan adalah mengalami kebahagiaan, bukan penderitaan. Saat pacaran kamu sudah diperlakukan dengan kasar, apalagi ketika engkau sudah menjadi istrinya. Sekali lagi pilihan ada di tanganmu. Kamu yang mengalami, bukan aku. Pilihlah pasangan hidupmu yang sungguh-sungguh mencintaimu, bukan hanya di mulut, tetapi juga nyata dalam tindakannya. Pasangan yang bisa membuatmu tertawa dan mampu menderita bersamamu.”
Gadis itu menatapku dengan mata berkaca-kaca.
“Terima kasih, Suster. Aku tidak menyangka Suster memberikan saran sebagus ini buatku. Maaf, Suster, jika aku melibatkan Suster dalam cerita hidupku. Bawakan aku dalam doamu, ya, Suster,” ucapnya dengan nada memohon, “supaya aku sanggup tegas dan mampu mengambil keputusan yang terbaik dalam hidupku.”
Aku tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalaku.
Langit sudah gelap dan tidur soreku sudah lenyap. Namun, pengalaman yang kuterima hari ini melebihi dari tidur soreku.
Ilustrasi: Bambang Shakuntala
Terima kasih Suster udah rasanya, selalu menyentuh. Ingin rasanya bercerita dengan Suster????