Beberapa waktu yang lalu, tiba-tiba saya mengalami kelesuan semangat, desolasi. Saya terdiam, membisu, menyadari bahwa lembaga yang saya pimpin juga kelimpungan terkena dampak wabah COVID-19. Semua kegiatan training dan paket-paket media dan spiritualitas dibatalkan, apalagi kampung juga di-lockdown, istilah keren untuk menandai pembatasan gerak warga. Intinya semua kegiatan di lembaga yang saya pimpin dihentikan dengan batas waktu yang belum jelas. Akibat selanjutnya ialah tidak ada pemasukan dan dana cadangan operasional pun sudah menipis. Itulah awal desolasi saya yang dalam.
Saya terdiam dalam ketermanguan, di tepian eksistensi hidup saya. Saya digiring pada pilihan antara pantang menyerah atau mengaku kalah. Satu jam kemudian, saya teringat akan salah satu adegan film Mengikuti Jejak St. Fransiskus Xaverius yang diproduksi oleh Kuang-chi Progam Service, Taipei (8 episode, 1993) dan kebetulan saya dulu juga ikut terlibat dalam produksi episode St. Fransiskus Xaverius di Maluku.
Fransiskus Xaverius yang bersama St. Ignasius Loyola mendirikan Serikat Yesus pada tahun 1540 telah diangkat sebagai patron misionaris. Semangat merasulnya memang berkobar-kobar dan pantang menyerah. Dalam salah satu adegan film tersebut, St. Fransiskus Xaverius---saat mengalami cobaan---mengatakan, “Memang mudah percaya kepada Allah pada saat segala sesuatunya normal dan lancar, tetapi tidaklah mudah menaruh kepercayaan kepada-Nya ketika menghadapi situasi yang tidak tampak adanya harapan sama sekali.” Merenungkan kembali kata-kata St. Fransiskus Xaverius itu, semangat saya tumbuh kembali. Saya memilih pantang menyerah, terus mencari upaya di tengah keterbatasan.
Apakah saya punya modal untuk pantang menyerah? Sampai kurang lebih dua puluh lima tahun yang lalu saya sering mengalami skrupel dan beban batin yang mengimpit, yang terkadang saya sendiri tidak tahu dari mana asalnya. Sering tiba-tiba saya merasa sedih, terimpit, dan tidak tahu jalan keluarnya. Namun, saya tidak mengalah terhadap kegelapan rohani itu. Sampai suatu saat, saya menemukan seorang pembimbing rohani yang cocok, kebetulan sama-sama Yesuit.
Ia membantu saya untuk mengolah beban-beban batin yang membuat saya seperti berada dalam tahanan. Saya dibimbingnya untuk lebih jeli melakukan pembedaan roh. Saya pun dilatih dalam sebuah retret agung untuk mengalami doa yang lebih afektif sehingga saya bisa berelasi dengan Yesus layaknya orang bersahabat.
Saya akhirnya mengalami kekuatan Tuhan Yesus yang membebaskan, “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin. Dan Ia telah mengutus Aku untuk memberikan pembebasan bagi orang-orang tahanan … untuk membebaskan orang-orang yang tertindas” (Luk. 4:18). Sejak saat itu, saya melihat jalan bagaimana saya bisa memperoleh rasa damai. Itulah buah dari sikap pantang menyerah dan tentu saja buah dari rahmat iman.
Situasi yang mencekik manusia dan membuat seluruh dunia tercekam seperti wabah COVID-19 ini mendorong manusia untuk membuat keputusan, mengambil sikap. Kesulitan yang berat menantang manusia untuk menunjukkan jati dirinya. Seperti yang ditulis oleh Romo Haryatmoko SJ (Kompas, 2 Mei 2020, hlm. 6), filsuf Sartre pernah mengatakan, “Kita belum pernah merasakan begitu bebas, kecuali ketika di bawah pendudukan Jerman.”
Sartre menyatakan hal seperti itu dalam rangka menjelaskan apa arti kebebasan. Beratnya keadaan memaksa kita untuk memilih dan memberikan komitmen kepada kehidupan. Terpaan dan deraan penderitaan dapat menjadi guru untuk belajar agar kita bisa melampaui diri kita. Dibenci tetapi bisa mengampuni. Gagal, tetapi tidak putus asa. Menderita ketidakpastian, tetapi tetap memiliki harapan.
Saat ini, ribuan manusia, bahkan jutaan manusia, bahkan miliaran manusia di dunia berada dalam batas daya kemampuan. Entah itu pemerintah, pebisnis, ilmuwan, dosen, guru, alim ulama, imam, biarwan-biarawati, dokter, perawat, tenaga medis lainnya, pasien, orang tua, dan diri kita masing-masing. Wabah Covid-19 ini menjadi momen penting dalam hidup kita untuk terus berjuang. Inilah momen yang melatih kita untuk memilih menjadi diri yang sejati atau pecundang. Mari terus berjuang bersama Tuhan Sang Pembebas.
Iswarahadi, SJ
Ilustrasi: Harry Setianto Sunaryo, SJ
593 Views
0 comments