Mulai awal Januari sampai pertengahan Februari 2020 banyak wilayah di Indonesia, terutama DKI Jakarta, dilanda bencana banjir, yang bagaikan air bah. Banjir melanda semuanya, tidak peduli rumah milik orang kaya atau rumah-rumah kumuh di pinggiran kali. Tidak peduli apakah gerobak penjual satai atau mobil Mercedes milik pejabat, semua diseret banjir. Di dalam aneka media orang ribut saling menyalahkan. Mengapa banjir sering terjadi di negeri ini?
Belum sempat para pemangku kepentingan menyusun strategi untuk mengatasi banjir, sudah datang bencana baru yang melanda Indonesia dan bahkan seluruh dunia. Wabah virus corona atau COVID-19. Kecepatan penyebarannya berlipat ganda. Pada awal Maret 2020 di Indonesia baru ditemukan 2 orang yang positif terkena COVID-19, dan pada akhir Maret 2020 yang terjangkiti sudah melampaui angka 1.000.
Wabah ini juga tidak pandang bulu, bagaikan air bah. Orang saleh atau orang berdosa, orang beragama atau orang tak beragama, rakyat jelata atau pejabat tinggi negara, orang muda atau orang tua, tidak ada yang mendapat privilese bebas dari wabah ini. Negara-negara dibuat gagap oleh wabah yang ganas ini. Negara AS yang konon merasa paling siap menghadapi wabah ini pun dibuat kelimpungan. Sementara Tiongkok yang mendapat urutan ke 51 dalam hal kesiapan menghadapi wabah seperti ini justru tampak paling cekatan mengatasinya, bahkan sudah mengulurkan bantuan alat dan tenaga medis ke sejumlah negara.
Mengapa di tanahku terjadi bencana? Begitu hati banyak orang bertanya. Ada yang menjawab bahwa bencana itu cobaan dari Tuhan. Apakah Tuhan suka mencobai manusia? Ataukah manusia yang suka membandel terhadap Tuhan sehingga akhirnya jatuh oleh kepongahannya sendiri? “Adapun bumi itu telah rusak di hadapan Allah dan penuh dengan kekerasan. Allah menilik bumi itu dan sungguhlah rusak benar, sebab semua manusia menjalankan hidup yang rusak di bumi” (Kej. 6:11-12).
Dalam kisah Air Bah dalam Kitab Suci Perjanjian Lama sepintas ada kesan Allah membiarkan bencana itu terjadi. Namun, kalau kita benar-benar memperhatikan keseluruhan kisah Air Bah, sebetulnya Allah sedang menyelamatkan bumi dan manusia. Allah sedang aktif menciptakan kembali apa yang dirusak manusia. Allah sedang menciptakan keseimbangan baru. Allah berinisiatif menyuruh Nabi Nuh untuk membuat bahtera penyelamatan (Kej. 6:9-8:22). Barang siapa yang masuk ke bahtera Nuh akan selamat, sedangkan mereka yang tetap berada di luar akan binasa dilanda air bah.
Senyatanya, pemerintah yang didukung oleh WHO telah membangun “bahtera penyelamatan” itu, yaitu anjuran untuk kembali ke rumah (bahtera keluarga) untuk berlindung sambil bekerja dari rumah, belajar dari rumah, beribadah dari rumah, dan bersilaturahmi dari rumah, disertai dengan kebiasaan baru seperti ambil jarak dan menjaga kebersihan. Bahtera penyelamatan ini sudah diperlengkapi dengan cara berada yang baru, yaitu dunia digital, yang memungkinkan kita menjangkau dunia luar dari dalam rumah.
Mungkin karena terlalu biasa hidup di luar rumah, kita sudah merasa penat tinggal di rumah. Mulai tidak sabar, bertanya-tanya kapan gelombang wabah ini akan surut? Sementara wabah COVID-19 terus menggilas hidup manusia, pada tanggal 27 Maret 2020 Gunung Merapi di Jateng/DIY meletus. Seseorang melihat sebuah gumpalan awan letusan Merapi yang menyerupai wajah Kyai Semar, lalu memotret dan menyebarkannya.
Menurut mitologi Jawa, bila Gunung Merapi sudah mengeluarkan awan yang menyerupai wajah Kyai Semar, itu pertanda bahwa wabah akan berakhir.
Lepas dari percaya atau tidak percaya pada mitologi itu, orang-orang sedang membangun harapan bahwa wabah akan berakhir. Kapan itu? Sebagian ahli memperkirakan akhir April 2020. Namun, hal ini tergantung dari masyarakat sendiri. Di mana pun kita berada, dan apa pun pekerjaan kita, kita bisa bertindak menyelamatkan kehidupan. Kalau masyarakat tetap bertahan berlindung dalam “bahtera penyelamatan” itu, tanda-tanda surutnya wabah ini akan segera muncul. Agar semakin banyak orang mau masuk ke bahtera penyelamatan itu, mesti ada kebijakan khusus dari pemerintah dan gerakan solidaritas untuk menyediakan makan bagi orang-orang yang hidupnya tergantung dari kegiatannya di luar rumah. Semoga kita tidak harus menunggu surutnya wabah itu sampai seratus lima puluh hari sebagaimana surutnya air bah pada zaman Nabi Nuh.
Iswarahadi SJ
Ilustrasi/Foto: A. Bagus Laksana SJ
500 Views
0 comments