Selama menjadi relawan dan tinggal di kampung pedalaman Kalimantan Barat, ada beberapa jenis makanan khas kampung yang aku suka. Ada kue lotik, lempet, ompik, dan topuk. Yang paling kusuka adalah kue topuk yang terbuat dari tepung beras ketan atau dalam bahasa setempat disebut beras pulut.
Aku sering menyebut-nyebut kue itu ketika aku bersama anak-anak. Namun, mereka bilang mali menyebut makanan ketika makanan itu tidak ada di depan kita. “Bisa kampunan,” katanya.
Mali maksudnya pantang diucapkan, sedangkan kampunan, bukan pelesetan dari kampungan, berarti akan mengalami sial, celaka. Entah benar entah tidak kepercayaan ini, tetapi hal-hal yang mali dan bisa menyebabkan kampunan bertebaran di kampung ini. Padahal aku sering, terutama ketika lapar dan ingin makan, mengatakan kepada anak-anak betapa enaknya makan ini dan itu. Kalau sudah begitu, serempak mereka akan menjilati jarinya dan membuat tanda salib. Katanya sih itu untuk menangkal mali dan kampunan.
Mali-mali yang lain di antaranya menjemur pakaian pada malam hari, membuka jendela pada malam hari, melangkahi tubuh orang lain, menyebut nama orang tua, menolak undangan makan orang lain, bersiul pada malam hari, dan sebagainya. Padahal kalau mau menggunakan logika sederhana, sebenarnya mali-mali itu mengandung pesan-pesan baik yang bisa dijelaskan dengan mudah. Misalnya, mali menyebut makanan ketika makanan itu tidak ada maksudnya supaya orang bisa menerima, mensyukuri, dan menikmati apa yang ada dan tidak memikirkan hal-hal yang memanjakan keinginan.
Mali membuka jendela pada malam hari karena katanya bisa jadi jalan masuk hantu. Ah, hantu kok repot-repot masuk lewat jendela, lha wong katanya bisa tembus dinding kok. Paling-paling nyamuk dan udara dingin yang masuk lewat jendela. Jadi, kalau dipikir-pikir larangan itu maksudnya supaya nyamuk dan udara dingin tidak masuk rumah, maka jendela harus ditutup. Namun, supaya terkesan seram, kelihatan berwibawa, dan dipatuhi, lalu di-mali-mali-kan.
Mali menyebut nama orang tua sebenarnya untuk menjaga supaya anak-anak menghormati orang tuanya, tetapi tidak pernah dijelaskan kepada anak-anak mengapa hal itu di-mali-kan. Pokoknya, sekali mali, ya tetap mali.
Ada temanku sesama relawan yang mengajar di kampung lain bercerita bahwa ketika dia baru datang di kampung itu dan belum tahu tentang segala macam mali, dia menanyakan nama orang tua salah seorang siswanya dan siswa itu menjawab, “Mali, Bu.”
Bertanyalah lagi dia kepada anak yang lain. Anak ini pun menjawab, “Mali, Bu.”
Begitu terus, semua siswa menjawab orang tuanya bernama Mali.
Anak-anak di kampung itu memang tidak pernah tahu apa makna di balik semua mali itu. Jangankan anak-anak, orang dewasa pun tidak mengetahuinya. Hal yang baik ketika disampaikan secara tidak utuh bisa jadi menimbulkan distorsi makna dan tafsir yang salah.
Pada zaman sekarang, ketika teknologi informasi begitu merajai keseharian manusia, segala informasi harus dicerna dengan ekstrabijaksana agar kita tidak salah menilai sebuah fenomena yang kadang kala adalah sebuah kebohongan.
Di kampung itu dan semua kampung lain di pedalaman tempatku bekerja, sangat banyak hal dibilang mali. Tetapi mabuk, yang jelas-jelas tak ada nilai positifnya, tidak pernah di-mali-kan, bahkan dimaklumi terus sampai detik ini.
Soal mabuk, aku punya cerita. Pada suatu malam, ketika aku sedang asyik main catur dengan seorang tetangga, tiba-tiba terdengar suara ribut di rumah sebelah. Ada orang begocoh (berkelahi) gara-gara minum sampai mabuk. Keributan itu ternyata berawal dari tadi sore.
Sore itu aku dan Dedi, rekan relawan, menonton anak-anak main bulu tangkis. Di rumah Pak RT sedang ada beberapa laki-laki berkumpul. Mungkin mereka sedang membicarakan soal uang bantuan dari pemerintah yang diterima beberapa kepala keluarga yang katanya akan dibagi rata kepada semua kepala keluarga.
Sampai menjelang pukul lima sore, orang-orang itu masih normal, belum teriak-teriak. Biasanya sih kalau ada dua orang atau lebih berkumpul, maka arak hadir di antara mereka. Kalau arak sudah merasuki otak, mereka akan mulai pasang volume suara tinggi. Namun, sampai sore suara mereka masih normal. Itu artinya arak belum hadir di antara mereka.
Dari ujung kampung kulihat Kakek Unot berjalan menuju rumah Pak RT membawa dua plastik berisi air. Dedi langsung teriak, “Bang, bahaya! Kabur, Bang!”
Aku baru sadar bahwa plastik yang berisi air bening itu adalah arak. Dedi, yang memang antiminum, langsung kabur karena takut dipaksa minum. Aku juga ikut kabur ke sungai, mandi lama-lama.
Di kampung itu ada kebiasaan memaksa orang untuk ikut minum arak kalau sedang ada kumpul-kumpul minum dan orang yang dipaksa minum tidak boleh menolak. Menolak artinya tidak menghargai. Lah, memaksa orang yang tidak doyan minum untuk minum apakah itu menghargai?
Acara rapat yang dilanjutkan minum itu pun berlangsung sampai malam. Sekitar pukul tujuh malam aku mendengar ribut-ribut di rumah sebelah. Lalu, ada seorang anak lari ke rumah kami dan bercerita bahwa Kakek Nensi wajahnya berdarah dipukul Bapak Lensi. Bapak Lensi itu anak Kakek Nensi. Dua-duanya drunken master yang sedang kepala dua belas, istilah mereka untuk mengatakan mabuk.
Setelah itu, ramailah orang di rumah sebelah. Peserta rapat mendamaikan perkelahian bapak-anak itu. Namun, yang mendamaikan juga orang-orang mabuk. Seru! Semua orang ngomong bareng-bareng tak ada ujungnya.
Perkelahian itu sebenarnya bukan karena masalah serius, hanya karena sama-sama mabuk yang mengakibatkan kehilangan kontrol mulut dan kontrol diri. Mereka mau mencari solusi atas sebuah masalah, tetapi bagaimana bisa ketemu solusi jika orang-orang yang mencarinya juga bagian dari masalah?
Penulis: Ignatius Teguh Raharjo
Ilustrasi: Bambang Shakuntala
567 Views
0 comments