“Biar anak-anak datang kepada-Ku,” sabda Yesus. Sabda itu sederhana, tetapi bermakna mendalam bagiku. Sabda itu menyiratkan cinta Allah yang begitu besar kepada anak-anak. Sebagai pengikut Kristus, aku juga dipanggil untuk mencintai anak-anak.
Hanya saja, sebuah pengalaman yang pahit telah membuatku kapok berhadapan dengan anak-anak. Namun, pengalaman pahit itu akhirnya menjadi manis dalam hidupku. Aku memperoleh pengalaman yang berharga, buah dari pengalamanku di suatu stasi.
Pada Sabtu sore, inang (ibu) rumah mendatangiku. Ia menawarkan kepadaku untuk mendampingi Sekolah Minggu. Mendengar tawaran itu, aku tidak langsung mengiyakan. Ada dua hal yang langsung muncul di pikiranku ketika mendengar tawaran itu.
Pertama, aku harus mempersiapkan khotbah untuk disampaikan dalam ibadat sabda Minggu di stasi. Kedua, aku teringat akan pengalaman buruk pada masa lampau saat mendampingi anak-anak Sekolah Minggu. Maka, aku pun berpikir sejenak.
Mengenai hal yang pertama, aku tidak merasa keberatan apabila tugasku menjadi bertambah. Namun, karena hal yang kedua, aku agak ragu untuk mengiyakan. Aku pernah mendampingi anak-anak Sekolah Minggu. Selama kurang lebih setahun, aku diberi tanggung jawab untuk mendampingi anak-anak Sekolah Minggu di dua stasi yang berbeda.
Di stasi yang satu, anak-anaknya sangat banyak, sedangkan stasi yang lain, jumlah anak-anaknya bisa dihitung dengan jari. Pengalaman menjadi pendamping Sekolah Minggu di dua tempat berbeda itu membuatku mencapai satu kesimpulan: aku kapok mendampingi anak-anak Sekolah Minggu!
Aku belum pernah merasa puas ketika mendampingi mereka. Sulit bagiku mengajak mereka bersikap aktif. Perhatian mereka bukan pada Sekolah Minggu, tetapi justru sibuk sendiri. Aku tidak pernah merasa pesan Injil yang kusampaikan sungguh-sungguh tersampaikan. Aku merasa gagal sebagai pendamping. Akhirnya, aku kehilangan kepercayaan diri dalam mendampingi anak-anak Sekolah Minggu.
Tahun demi tahun telah berlalu. Sekarang aku kembali dihadapkan pada pilihan yang sulit. Apakah aku harus maju atau justru mundur? Sebenarnya, aku bisa saja menolak dengan alasan harus mempersiapkan khotbah.
Hanya saja, entah kenapa mulutku mengiyakan tawaran itu. Padahal, aku tidak tahu jumlah maupun keadaan anak-anak di stasi itu. Ketika kata-kata “iya” terucap, aku pun menyesal. Namun, aku mencoba untuk percaya pada penyelenggaraan ilahi. Malam hari pun kulalui dengan penuh kepasrahan.
Akhirnya, esok hari pun tiba. Aku telah mempersiapkan diriku untuk mendampingi Sekolah Minggu maupun berkhotbah dalam ibadat sabda di stasi. Persiapanku untuk Sekolah Minggu sangatlah sederhana. Hanya beberapa permainan dan sebuah khotbah singkat.
Sebenarnya, aku tidak yakin akan berhasil. Oleh sebab itu, aku sudah siap untuk gagal. Yang jelas, aku ingin mengusahakan yang terbaik.
Saat mendekati gereja, aku melihat anak-anak telah tersebar di sekitar lapangan depan gereja. Ada yang bermain pasir, ada yang duduk di batu-batu bahan bangunan, ada yang duduk di pelataran gereja, ada yang sendirian, ada pula yang berkumpul dalam kelompok-kelompok terpisah. Mereka terlihat seperti menunggu sesuatu.
Rupa-rupanya, gereja belum dibuka. Pemegang kunci belum muncul. Melihat keadaan mereka, hatiku pun tergerak oleh rasa kasihan. Aku langsung mengumpulkan anak-anak itu. Untunglah, amang (bapak) rumah yang mengantarku turut membantu sebelum pergi meninggalkanku.
Ketika sudah berkumpul, ternyata jumlah mereka cukup banyak. Jantungku pun berdegup kencang. Keraguan mulai timbul dalam hatiku. Apakah aku bisa mendampingi mereka? Akankah semua berjalan lancar? Atau, akankah kejadian yang dulu terulang lagi?
Perlahan-lahan aku berusaha menepis keraguanku. Aku mencoba meyakinkan diriku. Bukankah aku berbuat baik? Mengapa aku harus ragu? Aku harus yakin kalau aku melakukan hal yang benar!
Aku pun memulai kegiatan. Kuubah sikapku menjadi lebih ceria dan percaya diri. Tak kupedulikan jumlah anak yang terus bertambah. Yang ada dalam pikiranku hanya membuat mereka ceria dan menyampaikan isi Injil.
Kegiatan dimulai dengan doa, lalu dilanjutkan dengan gerak dan lagu alias bernyanyi sambil membuat gerakan. Ternyata, anak-anak mau diatur walau ada yang masih malu-malu. Mereka bahkan berebut saat kuminta membaca bacaan pada hari itu. Seluruh kegiatan berjalan lancar hingga akhir. Belum pernah aku melakukan pendampingan semulus itu.
Pengalaman yang menarik bagiku saat itu ialah ketika kami melakukan gerak dan lagu. Ketika aku memberi contoh, mereka mendekatiku. Mereka begitu dekat sehingga aku harus mundur. Ketika mundur, aku menyadari kalau mereka tetap mengikutiku. Dengan tertawa, aku meminta mereka untuk tetap di tempat. Aku merasa lucu dengan apa yang mereka lakukan.
Jika hanya satu atau dua anak, tidak masalah bagiku. Akan tetapi, hampir semua anak bergerak seolah mengepungku. Ke mana aku pergi, ke situ mereka bergerak. Keadaan itu baru berakhir ketika pendamping Sekolah Minggu dari stasi itu tiba.
Sesampainya di rumah, aku menyampaikan kebingunganku kepada keluarga induk semang. “Mengapa anak-anak itu terus mendekatiku?” tanyaku.
Kata inang, “Anak-anak itu jarang melihat frater. Lebih tepatnya, hampir belum pernah.”
Aku tersentuh mendengar perkataan inang. Sikap mereka yang seperti itu ternyata menunjukkan kerinduan mereka akan kehadiran kaum religius atau kaum berjubah. Panggilanku serasa diteguhkan oleh peristiwa itu.
Aku ingin setia pada panggilanku. Bila hatiku goyah, aku akan mengingat anak-anak di stasi itu, anak-anak yang merindukan sosok berjubah di tempatnya. Sosok yang mampu membuat mereka merasa bahagia.
Sabda Yesus di atas harus kugenapkan dalam diriku. Biar mereka merasakan kebahagiaan dengan kehadiranku sebagai kaum religious, kebahagiaan yang mendekatkan mereka pada Allah.
Secuil pengalaman di stasi itu telah menyembuhkanku dari segunung pengalaman tidak menyenangkan pada masa laluku. Aku pun semakin mencintai anak-anak. Aku berharap, aku sungguh menjadi kaum religius yang membawa kebahagiaan bagi setiap anak.
Penulis: Mario Ari Leonard Barus
Ilustrasi: Bambang Shakuntala
583 Views
0 comments