Ketika itu kami bersepuluh mengikuti kegiatan kaderisasi di Lampung. Kami diberi tugas untuk berjalan kaki menuju ke tempat yang sudah ditentukan dan hanya membawa pakaian yang dikenakan serta surat perintah untuk berjaga-jaga. Kami juga dilarang untuk mengemis makanan atau uang. Kami hanya diperbolehkan menerima makanan dari hasil kerja kami. Dua hari adalah lama waktu yang disediakan untuk kami berjalan menuju tujuan.
Pada hari kedua aku bekerja dengan seorang tukang sampah yang pada awalnya kukira pemulung. Lantaran salah menebak, sebenarnya aku ingin mengurungkan niat. Tetapi karena masih memerlukan satu pekerjaan untuk menuntaskan misi perjalanan, aku tetap memilih itu.
Sejak kecil aku tidak suka dengan tukang sampah, ada perasaan jijik dalam hati. Pada awalnya ia menolak tawaranku karena merasa seorang pemuda seperti aku tidak pantas bekerja menjadi seoang tukang sampah. Tetapi aku berusaha meyakinkannya. Setelah melewati proses melamar yang sangat pelik dan berkat bantuan seorang ibu penjual makanan yang memberikan aku makan gratis, tukang sampah itu memperbolehkan aku untuk membantunya.
Tidak pernah terlintas di benakku untuk menjadi tukang sampah. Sebaliknya, aku justru menghindari tukang sampah karena mereka bekerja dengan sampah. Biasanya, karena disuruh orang tua saja aku mau membantu memasukkan sampah rumah ke gerobak tukang sampah yang biasa keliling di sana. Jika hujan mengguyur atau sampahnya basah, baunya yang sangat menyengat sangat aku hindari.
Tak lama kemudian, kami bersua dengan gerombolan anak-anak yang sedang duduk-duduk di pagar sebuah rumah. Mereka memandangi kami. Lalu, kami menyapa dan pria itu bertanya, “Siapa yang ingin menjadi tukang sampah?” Serentak mereka menggelengkan kepala sembari tersenyum. Mendengar itu, ia berpaling dan berkata kepadaku, “Tentu saja, siapa yang mau jadi tukang sampah?” Aku hanya tersenyum kecut, tak tahu harus bagaimana. Apalagi, saat itu aku juga merasa malu ketika orang-orang mengira kalau aku adalah anaknya.
Ketika selesai, ia mengajakku makan tahu guling di sebuah warung. Kami berbincang-bincang dan dengan heran ia berkata, “Sebenarnya Mas ini berjalan dalam rangka apa? Kok sampai harus kerja menjadi tukang sampah?”
Karena diinstruksikan untuk menjaga identitas, yang saat itu adalah calon imam, demi keselamatan aku menjawab, “Ya, dalam rangka pelatihan kepemimpinan, Pak. Tugas wajib dari universitas.”
Dengan terkesan ia mengatakan bahwa memang seperti itulah seharusnya pemimpin, belajar dari wong cilik. Lalu ia berpesan kepadaku, “Besok kalau sudah jadi orang hebat, Mas jangan lupa sama orang-orang seperti saya ini.”
Setelah makan, ia mempersilakanku pergi karena pekerjaan hari itu sudah selesai dan ia hendak pulang ke rumahnya.
Tukang sampah, pekerjaan yang paling aku hindari, tetapi paling berkesan yang pernah kualami. Pekerjaan mulia karena turut andil dalam merawat lingkungan dan kesehatan itu sering kali dipandang sebelah mata, terutama karena mereka berurusan dengan sampah yang kotor dan menjijikkan, tempat berbagai macam penyakit tumbuh dan bersarang. Siapa yang mau berurusan dengan sampah yang kotor dan menjijikkan? Selagi bisa menghindar, kenapa tidak?
Aku rasa, hanya keterpaksaanlah yang membuat orang memilih memilih pekerjaan itu. Bapak tukang sampah yang aku bantu mengatakan kalau awalnya dia tidak ingin menjadi tukang sampah. Namun, karena usaha yang ia bangun gulung tikar dan keluarganya membutuhkan biaya segera, maka ia memilih pekerjaan itu.
Tuhan telah menciptakan kita semua setara, yakni sebagai citra-Nya. Rupanya, menyadari diri sebagai citra dan menjadi citra Allah sejati membutuhkan usaha. Ketika aku memandang rendah orang lain, aku sekaligus menyatakan bahwa orang itu bukanlah citra Allah karena ia lebih rendah dariku yang adalah citra Allah. Jika orang yang aku rendahkan adalah tetap citra Allah, lalu siapakah aku? Apakah aku Allah? Saat itu aku bertanya kepada diriku sendiri siapakah aku sehingga aku berhak merendahkan sesamaku?
Yesus mengatakan, “Segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk aku.” Faktanya, terdapat berbagai macam orang yang mendapat perlakuan buruk, contohnya tukang sampah. Jika demikian, banyak hal yang belum aku lakukan untuk Yesus, sebagaimana disabdakan oleh-Nya. Aku masih perlu belajar dan membangun pemahaman yang memaksimalkan potensi sebagai citra Allah.
Sekotor apa pun, sebau apa pun, sesakit apa pun, sejahat apa pun seseorang, seorang manusia tetaplah manusia. Martabat itu tidak dapat diubah dan hal itu baru aku sadari ketika bekerja sebagai tukang sampah, pekerjaan yang kupandang sangat rendah. Mungkin, itulah cara Allah untuk menunjukkan kepadaku martabat sejati seorang manusia.
Ya, pengalaman itu mengajarkanku untuk menjadi seorang citra Allah, seorang yang menyadari diri-Nya adalah citra Allah, seorang yang menyadari bahwa orang lain adalah citra Allah.
Yohanes Babtista Lemuel Christandi
Ilustrasi: Bambang Shakuntala
284 Views
0 comments